Penganut Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia


Perlu kita ketahui bahwa aliran kepercayaan dan aliran kebatinan di Indonesia sudah ada ketika masa Hindu-Budha berlangsung. Keberadaan aliran ini dimulai ketika masyarakat Indonesia khususnya yang berada di Pulau Jawa sudah melakukan kegiatan (tradisi) menulis.

Contohnya saja yaitu seperti tulisan Serat Centhini di dalam masyarakat Jawa dan karya Bujangga Manik dalam masyarakat Sunda.

Dari karya-karya tersebutlah terdapat orang-orang yang kemudian mengamalkan atau mengikuti ajaran yang terkandung di dalamnya mengenai ajaran-ajaran moral, yang pada tahap selanjutnya hal itu membuat munculnya sebuah kebiasaan baru yang mengandung unsur-unsur aliran kebatinan atau aliran kepercayaan tertentu.

Di Pulau Jawa misalnya, terdapat golongan masyarakat yang disebut sebagai golongan kaum abangan. Dimana golongan ini merupakan bagian dari orang-orang yang memeluk agama (islam), namun perilaku keseharian mereka masih terpengaruhi oleh tradisi dan adat kebiasaan setempat yang umumnya merupakan adat kebiasaan dari peninggalan masa Hindu-Budha.

Tradisi-tradisi dan kebiasaan inilah yang kemudian memunculkan apa yang disebut dengan istilah penghayat aliran kebatinan atau penghayat aliran kepercayaan.

Di daerah tatar Sunda sendiri, aliran-aliran penghayat kebatinan seperti ini pun sangat umum ditemui, dan dapat kita lihat dari gaya kehidupan masyarakat Sunda pada waktu itu.

Di wilayah ini, aliran kepercayaan atau aliran kebatinan tidak hanya dipengaruhi oleh agama Hindu-Budha saja, melainkan juga dipengaruhi oleh Kerajaan Mataram, karena pada waktu itu Kerajaan Sumedanglarang yang dipimpin oleh Aria Suriadiwangsa I menyatakan menyerah dan tunduk kepada Mataram sekitar tahun 1620.




Selain terdapat masyarakat penganut aliran kebatinan atau aliran kepercayaan, ada juga masyarakat-masyarakat adat yang masih mempertahankan adat budaya mereka.

Mereka itu tidak termasuk kedalam aliran kebatinan, karena mereka membuat komunitas sendiri dengan membuat tempat tinggal yang jauh dari masyarakat lainnya, ini seperti halnya yang dilakukan oleh orang atau suku Baduy yang berada di wilayah Provinsi Banten.

Berbeda dengan suku Baduy yang kehidupannya memisahkan diri dari masyarakat luar, penganut aliran kebatinan atau aliran kepercayaan justru hidup berbaur dengan masyarakat umum lainnya dengan tidak dibedakan dengan masyarakat biasa.


Aliran Kepercayaan Pasca Kemerdekaan Indonesia

Pada masa awal kemerdekaan, aliran kebatinan muncul akibat dari adanya perjuangan bangsa Indonesia dalam upaya mempertahankan kemerdekaannya. Masyarakat banyak yang mendalami ilmu-ilmu kanuragan dan ilmu kebal untuk memperkuat dirinya dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.

Pada tahun 1955, didirikan Badan Kongres Kebatinan di Indonesia (BKKI) yang bertujuan untuk mewadahi golongan yang menganut aliran-aliran tersebut. 

Dalam Kongres tersebut dihadiri oleh sekitar 67 organisasi kebatinan yang terdiri dari sekitar 680 orang. Pada tanggal 7-8 Agustus 1956 diadakan Kongres BKKI yang kedua di Solo, Jawa Tengah.

Dalam kongres tersebut mereka menyatakan bahwa aliran kebatinan bukan merupakan sebuah agama baru, melainkan aliran kebatinan adalah sebagai sebuah pembantu dalam melaksanakan kehidupan beragama.

Pada tanggal 17-20 Juli 1958 diadakan Kongres BKKI yang ketiga yang digelar di Jakarta. Hasil dari kongres tersebut kemudian membuat diadakannya sebuah seminar Kebatinan Badan Kongres Kebatinan di Indonesia (BKKI) pada tanggal 14-15 November 1959.

Namun sekitar tahun 1960-an di Indonesia terjadi kekacauan politik, salah satunya yaitu adanya penyusupan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia terhadap aliran kebatinan. Sejak itu banyak pembubaran aliran-aliran kebatinan di Indonesia, sehingga hal itu membuat BKKI pun harus dibubarkan pada akhir tahun 1965.

Untuk menghindari pembersihan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap sebagai anggota PKI, maka orang-orang yang menganut aliran kebatinan atau aliran kepercayaan mereka kemudian banyak yang memeluk agama-agama yang diakui oleh pemerintah, dan sebagian dari mereka banyak yang memeluk agama Kristen baik Protestan maupun Katholik.

Pada masa Orde Baru ketika Soeharto menjadi presiden, orang-orang kebatinan mulai kembali muncul, hal ini disebabkan karena Soeharto merupakan seorang yang menganut ajaran Kejawen, selain itu pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto sangat dekat dengan kaum atau orang-orang abangan dan priayi.

Upaya-upaya pun dilakukan oleh penganut aliran kebatinan agar membuat aliran tersebut mendapatkan eksistensinya lagi di Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukannya yaitu dengan menggelar sebuah Kongres Internasional SUBUD (Susila Budi Darma) di Jakarta.

Pada tahun 1973 merupakan awal kebangkitan dari penganut aliran kebatinan. Mereka dengan berani merayakan perayaan 1 Suro 1905 sebagai hari raya kaum Kebatinan di Indonesia, dengan merayakannya pada tanggal 5 Februari 1973 di Jakarta dengan dihadiri oleh bekas anggota BKKI dan juga pejabat pemerintah seperti Menteri Agama.


Jenis Aliran Kepercayaan Kebatinan

Pada tahun 1970-an terdapat perkembangan aliran kepercayaan di Indonesia. Mereka muncul dengan dua jenis penganut aliran kepercayaan di Indonesia. Pertama yaitu penganut aliran kepercayaan "tak polos".

Aliran ini merupakan bagian dari sebuah aliran kepercayaan atau aliran kebatinan, namun selain itu mereka juga memeluk suatu agama yang diakui oleh pemerintah, dengan ciri-cirinya yaitu yang terdapat di dalam Kartu Tanda Penduduk mereka yang menyatakan bahwa mereka mencantumkan agama seperti Islam, Kristen Katholik atau Kristen Protestan.

Alasannya mereka melakukan hal tersebut, dikarenakan mereka khawatir terhadap pembersihan-pembersihan aliran kepercayaan yang dilakukan pada masa lalu yang ditakutkan akan terjadi pula pada mereka pada masa ini.

Alasan lain yaitu agar mereka mendapat kemudahan dalam hal-hal administrasi kenegaraan seperti masalah surat nikah, akta kelahiran anak dan juga apabila ingin menjadi seorang pegawai negeri mereka akan lebih mendapatkan kemudahan.




Aliran yang kedua yaitu aliran yang disebut dengan aliran kepercayaan "polos". Aliran ini merupakan kebalikan dari aliran "tak polos" dimana aliran ini mereka yang menganutnya tidak memeluk agama manapun yang diakui oleh pemerintah.

Dalam hal ini identitas kartu tanda penduduk mereka, pada kolom agama dikosongkan atau terdapat tanda strip. Mereka menganggap bahwa aliran kepercayaan yang dianut oleh mereka adalah sebuah agama, sehingga mereka menjalankan aliran kepercayaan ini sebagai layaknya orang yang memeluk atau mempunyai agama.

Penganut atau penghayat aliran kedua kepercayaan ini hingga sekarang yakni pada abad ke-21 ini masih berkembang dan tumbuh subur meskipun keberadaanya di masyarakat masih kurang menonjol ataupun tidak terlihat.

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung ke Blog ini. Bagi pengunjung silahkan tinggalkan komentar, kritik maupun saran dengan menggunakan bahasa yang baik dan sopan. No Spam !

Previous Post Next Post

Contact Form

close