Jenis-Jenis Puisi Sunda dan Upaya Pelestariannya

Naskah Babad Pajajaran

Puisi merupakan sebuah hasil karya manusia yang diekspresikan melalui kata-kata, dengan memiliki keindahan bahasa yang sangat tinggi. Bagi masyarakat Sunda puisi mulai dikenal sejak awal abad ke-20, dan merupakan bagian dari karya sastra.

Pada dasarnya puisi Sunda dengan puisi pada umumnya memiliki kesamaan. Namun secara lebih khusus menurut Iskandarwassid, puisi Sunda dapat dibagi kedalam dua bagian yaitu berdasarkan waktu dan berdasarkan narasinya.


Macam-Macam Puisi Sunda

Berdasarkan waktu, puisi Sunda dapat dikategorikan menjadi puisi lama atau trdisional dan puisi baru atau puisi modern.

Puisi lama terbagi menjadi dua lagi yaitu puisi yang berbentuk cerita dan puisi yang tidak berbentuk cerita. Jenis puisi yang berbentuk cerita contohnya seperti pantun dan wawacan.

Sedangkan puisi yang tidak berbentuk cerita banyak sekali macamnya. Adapun contohnya yaitu seperti :
  • Mantra ; terdiri dari jangjawokan, singlar, jampé dan asihan,
  • Sisindiran ; terdiri dari rarakitan, paparikan dan wawangsalan,
  • Kakawihan ; berupa barudak,
  • Sa’ir ; terdiri dari sawér dan pupujian,
  • Pupuh ; berupa dangding dan guguritan.

Sementara untuk jenis yang termasuk puisi baru atau modern yaitu dapat berupa sajak, yang mana isi dan cara penulisnnya pun cenderung sama seperti puisi pada umumnya.


Sejarah dan Perkembangan Puisi Sunda

Puisi Sunda diperkirakan berasal dari puisi tradisional yang berupa puisi lisan contohnya saja seperti sisindiran, kakawihan, dan mantra, dimana karya lisan mendahului karya tulisan dalam hal ini yaitu puisi.

Puisi Sunda pun sebenarnya sudah ada di dalam tulisan naskah-naskah kuno yang ditulis sekitar abad ke-15. Dalam puisi yang ada di dalam naskah-naskah kuno tersebut banyak mendapat pengaruh dari karya sastra India, seperti pola lariknya yang mempunyai kesamaan.

Sekarang puisi-puisi yang ditulis di dalam naskah-naskah kuno sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia agar memudahkan kita dalam mengartikannya. Pada masa ini karya sastra Sunda yang paling banyak ditulis adalah karya sastra yang berjenis puisi modern yaitu sajak.

Baca Juga : Pengaruh Budaya Asing terhadap Kebudayaan di Indonesia

Di tahun 1950-an sajak Sunda sudah ditulis lebih dari 40 buku dengan melibatkan sekitar 130 orang penyair. Sajak Sunda sendiri banyak dipengaruhi dari sajak Indonesia.

Media yang berperan dalam membantu mempublikasikan sajak-sajak Sunda adalah media-media lokal seperti Manglé, Galura, dsb. Patut kita banggakan karena sajak-sajak Sunda memiliki media tersendiri dalam penyampaiannya.

Hal itu berbeda dengan karya-karya yang berasal dari suku lain seperti Jawa, yang dalam publikasi di media sangat terbatas bahkan bahasa daerahnya pun yaitu bahasa Jawa kurang begitu hidup.

Hal ini bisa disebabkan karena kebanyakan dari orang-orang dari suku Jawa menuliskan sajak dengan cara menggunakan bahasa Indonesia. Tidak demikian dengan para penyair sajak-sajak Sunda, yang dapat memilah mana sajak yang harus ditulis dalam bahasa Sunda dan mana sajak yang harus ditulis dalam bahasa Indonesia.


Karakterisitk dari Hasil Karya Puisi Sunda 

Sebagai identitas suatu etnik atau bangsa, puisi Sunda memiliki ciri khas dan karakter tersendiri yang berbeda dengan puisi-puisi yang berasal dari daerah lain.

Namun demikian, pada hakikatnya puisi Sunda adalah merupakan bagian dari karya sastra Nusantara bahkan Dunia, karena di dalam karya-karya puisi Sunda memiliki hubungan yang saling berpengaruh dengan karya-karya Indonesia dan Dunia.

Hubungan tersebut dapat kita lihat dalam hal bentuk, diksi, gaya bahasa dan juga ideologinya.

Meskipun antara puisi Sunda dengan puisi yang lainnya memiliki hubungan yang saling berkaitan, hal itu tidak membuat sebuah kesamaan yang mendasar, dan terkadang setiap karya memiliki karakter dan keunikan tersendiri yang disebut gen-gen jiwa yang akan berbeda antara suatu karya dengan karya yang lainnya.


Apa itu Budaya Pasca-Sunda?

Dalam setiap kebudayaan lokal kita harus dan berkewajiban untuk melestarikan suatu kebudayaan tersebut. Karena kebudayaan lokal itu bagian dari karakter perilaku kehidupan suatu bangsa. Di tanah Sunda hal itu merupakan sebuah dilema yang sangat besar ditengah zaman atau era globalisasi ini.

Kebanyakan dari orang-orang sunda ini sudah terpengaruh oleh budaya luar sehingga otomatis budaya lokal pun semakin banyak ditinggalkan dan dipelajari apalagi untuk dilestarikan.

Orang-orang tersebut inilah boleh kita sebut sebagai suatu generasi pasca–Sunda, dimana seseorang tersebut cinta dan peduli dengan budaya Sunda, namun di sisi lain mereka itu tidak membuat langkah konkret untuk melestarikan kebudayaannya tersebut.

Dalam hal ini yaitu dalam penulisan karya-karya puisi Sunda, para penyair Sunda kini tidak hanya menulis sajak atau puisi Sunda, melainkan mereka sudah banyak menulis karya-karya yang mengandung unsur non-Sunda.

Hasil karya puisi-puisi Sunda, sekarang sudah banyak orang yang menulis berasal dari luar Sunda sendiri bahkan ada yang berasal dari mancanegara. Banyak orang-orang asing pun yang mulai mempelajari bahasa Sunda untuk membuat karya-karya puisi atau sajak Sunda.

Sudah selayaknya kita sebagai generasi Sunda mestinya mempelajari dan melestarikan budaya kita sendiri begitu riskan sekali kita melihatnya, ternyata justru orang asing yang sudah mulai mempelajari budaya Sunda, untuk itu sepatutnya kita bangga terhadap kekayaan budaya kita sendiri dan tidak terlalu banyak meniru budaya lain.


Kesimpulan saya bahwa budaya itu dikatakan baik atau bagus bukan karena seberapa besar orang asing meniru atau banyak mempelajarinya, melainkan bagaimana cara generasi muda dapat tetap bangga akan kebudayaan asli suatu daerah itu dengan selalu berusaha untuk tetap membudayakan dan melestarikannya.

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung ke Blog ini. Bagi pengunjung silahkan tinggalkan komentar, kritik maupun saran dengan menggunakan bahasa yang baik dan sopan. No Spam !

Previous Post Next Post

Contact Form

close