Mengenal Agama yang dianut oleh Orang Jepang

 

Jika kita berbicara tentang agama atau sistem kepercayaan yang dianut oleh orang-orang Jepang, maka pengertiannya mungkin akan sedikit berbeda dengan pengertian agama seperti yang sudah kita kenal terhadap agama-agama samawi di Indonesia.

Kebanyakan orang Jepang biasanya akan mengaku bahwa mereka beragama Budha atau Shinto. Namun padahal apabila kita terus bertanya dan mendesak (tentu kita harus sudah kenal baik dengan orang Jepang yang kita tanyai itu), maka mereka akan mengatakan bahwa mereka sebenarnya tidak mempunyai agama yang mengikat, tentu meskipun hal itu tidak berlaku bagi semua orang Jepang.

Mereka orang Jepang banyak yang cenderung melihat agama sebagai ikatan-ikatan yang hanya menjadi beban belaka saja. Paling tidak berupa beban pikiran, karena banyak hal didalam agama yang mereka peluk baik Budha maupun Shinto tidak memuaskan logika berfikir mereka yang kritis.


Aturan Pemerintah Jepang Mengenai Agama

Dalam undang-undang dasar di negeri matahari terbit itu, telah sangat jelas diatur bahwa pemerintah tidak boleh ikut campur dalam hal urusan agama manapun. Selain itu, juga dilarang keras ketika ingin memakai anggaran negara untuk hal-hal yang berbau agama.

Sebagai contoh di dalam pasal 20 tertulis bahwa semua lembaga agama tidak boleh diberi hak istimewa dari negara serta tidak boleh melaksanakan kekuatan politik, negara dan instansinya tidak boleh melakukan kegiatan agama dan pendidikan agama tertentu.

Orang Jepang tidak peduli dengan agama yang dianut oleh orang lain selain dirinya. Jika pun mereka (orang Jepang) mempercayai agama tertentu, biasanya mereka tidak suka untuk memamerkan agamanya tersebut. Karena pada dasarnya orang Jepang tidak suka ikut campur dengan urusan pribadi orang lain, dan dalam hal ini masalah agama pun dianggap mereka sebagai  bagian dari urusan pribadi.

Di Jepang pernah suatu waktu orang yang beragama Kristen menjadi Perdana Menteri, ia adalah Ohira Masayoshi yang menjabat perdana menteri dari tahun 1978 hingga tahun 1980.

Namun meskipun agama yang dianut adalah agama kristen, tidak ada dari penduduk Jepang yang mempersalahkannya menjadi seorang perdana menteri, meskipun pada waktu itu dapat dikatakan bahwa agama kristen merupakan agama minoritas di Jepang dengan jumlah presentase hanya sekitar 1 % dari total penduduk Jepang.

Hal sangat menarik yang perlu digarisbawahi dalam kasus ini ternyata adalah bahwa orang jepang melakukan hal itu bukan semata-mata karena mereka menjunjung tinggi sikap toleransi terhadap agama, melainkan karena orang Jepang mempunyai sikap ketidakpedulian terhadap agama.

Jadi dapat dikatakan bahwa apapun agama mu, jika memang kamu peduli dan mau membangun negeri Jepang maka berkontribusilah mungkin seperti itulah kata yang tepat untuk menggambarkan pribadi dari orang-orang Jepang.


Kehidupan Duniawi Lebih Penting Dibanding Rohani

Selain dalam hal kepercayaan yang dianut, orang Jepang ternyata mempunyai kehidupan yang sangat materialistik. Hal itu didorong oleh kemajuan industri dan ekonomi negara Jepang.

Mereka orang-orang Jepang cenderung untuk melihat sesuatu kesuksesan dari sisi lahir dibandingkan sisi rohani. Jadi orang Jepang hanya melihat tingkat kekayaan dan kemashuran.

Sikap tersebut mungkin diakibatkan karena adanya sikap hidup orang Jepang yang tidak mempunyai rasa berdosa, melainkan hanya mempunyai rasa malu saja. Karena rasa berdosa biasanya timbul apabila kita percaya kepada kekuasaan yang maha tinggi, yang telah menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh kita lakukan.

Melanggar ketentuan itu menimbulkan rasa berdosa pada diri kita. Orang Jepang pada dasarnya tidak mempunyai konsep mengenai kekuasaan yang maha tinggi.

Agama budha yang pada dasarnya juga tidak mempunyai konsep mengenai ketuhanan, maka Shinto yang merupakan dasar kepercayaan nenek moyang di Jepang, akhirnya menemukan harmoni dengan mengadakan pembagian kerja dalam melayani hidup sehari-hari orang Jepang.


Jika ada anak yang baru lahir, maka mereka pergi ke kuil Shinto. Namun jika ada orang yang mati, mereka pergi ke kuil Budha. Kedua hal itu dilakukan dengan perasaan yakin, tanpa menimbulkan perpecahan batin sama sekali.

Dan orang Jepang bangga karena hal itu dianggap sebagai manifestasi hidup yang harmonis. Dan keharmonisan itulah yang kemudian menjadi dasar falsafah orang Jepang.

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung ke Blog ini. Bagi pengunjung silahkan tinggalkan komentar, kritik maupun saran dengan menggunakan bahasa yang baik dan sopan. No Spam !

Previous Post Next Post

Contact Form

close