Masa Pemerintahan VOC di Indonesia

sejarah perusahaan dagang voc

Pada mulanya pedagang-pedagang Belanda yang berpusat di Rotterdam membeli rempah-rempah dari kota Lisabon, Portugal.

Pada waktu itu Belanda masih dalam penjajahan negara Spanyol, kemudian terjadilah perang 80 tahun yang pada akhirnya Belanda berhasil melepaskan diri dari cengkraman Spanyol. Dan segera setelah itu Belanda pun mengangkat William Van Oranye sebagai pahlawan kemerdekaan Belanda.

Pada tahun 1580 Raja Philip dari Spanyol naik tahta, ia berhasil mempersatukan Spanyol dan Portugis, akibatnya Belanda tidak dapat lagi mengambil rempah-rempah dari Lisabon yang sedang dikuasai Spanyol.

Hal itulah yang kemudian mendorong Belanda untuk mengadakan penjelajahan samudera agar bisa mendapatkan rempah-rempah langsung di daerah asalnya.

Adanya petunjuk jalan ke Indonesia dari Jan Huygen Van Linscoten, yaitu seorang mantan pelaut Belanda yang berkerja pada Portugis dan pernah ke Indonesia membuat pihak Belanda pun semakin tertarik untuk segera melakukan penjelajahan.


Perjalanan Belanda Menuju Ke Indonesia

Pada tahun 1595 Linscoten berhasil menemukan tempat-tempat di Pulau Jawa yang bebas dari tangan Portugis dan banyak menghasilkan rempah-rempah untuk diperdagangkan, peta yang dibuat oleh Linscoten diberi nama Interatio yang artinya keadaan didalam atau situasi di Indonesia.

Kemudian, berangkatlah 4 buah kapal di bawah pimpinan Cornelis de Houtman pleter de kalzer menuju Indonesia melalui lautan atlantik. Mereka menyusuri pantai barat afrika dan sanapal di tanjung harapan.

Dari tanjung harapan, mereka mengarungi lautan hindia dan kemudian masuk ke Indonesia melalui selat sunda. Mereka menghindari jalur selat malaka karena portugis menguasai malaka.

Tibalah mereka di pelabuhan banten, dan pada mulanya kedatangan mereka mendapat sambutan baik dari masyarakat Banten.

Kedatangan Belanda diharapkan dapat memajukan perdagangan dan dapat membantu usaha penyerangan ke Palembang yang dipimpin oleh raja Maulana Muhammad.

Akan tetapi sikap De Houtman semakin kaku dalam perdagangan (hanya mau membeli rempah-rempah pada musim panen dan membeli melalui pejabat atau cina perantara saja, akhirnya Ia ditangkap dan baru dibebaskan setelah membayar uang tebusan kemudian meninggalkan Banten.

Walaupun demikian de Houtman disambut dengan gegap gempita oleh masyarakat Belanda, ia dianggap sebagai pelopor pelayaran yang menemukan jalan laut ke wilayah Nusantara.

Baca Juga : Hukum Swapraja di Pulau Madura

Pada tanggal 28 November 1598 pelayaran baru Belanda dipimpin oleh Jacob van Neck dan Wybrect van Waerwyck dengan 8 buah kapal tiba di Banten. Pada saat itu hubungan Banten dengan Portugis sedang memburuk sehingga kedatangan Belanda diterima dengan sangat baik.

Oleh karena sikap Van Neck yang sangat hati-hati dan pandai mengambil hati para pembesar Banten, maka 3 buah kapalnya yang penuh muatan rempah-rempah berhasil dikirim ke Belanda dan 5 buah kapal yang lainnya menuju Maluku.

Di Maluku, Belanda juga diterima dengan baik oleh rakyat Maluku karena dianggap sebagai musuh Portugis yang sedang bermusuhan dengan rakyat Maluku.


Berdirinya VOC (Verenigde Oost Indesche Compagnie)

Keberhasilan ekspedisi-ekspedisi Belanda dalam mengadakan perdagangan rempah-rempah mendorong pengusaha-pengusaha Belanda yang lainnya untuk berdagang ke Nusantara, dan diantara mereka terjadi persaingan.

Disamping itu mereka harus harus menghadapi persaingan dengan Portugis, Spanyol dan Inggris. Akibatnya mereka saling menderita kerugian, lebih lebih dengan sering terjadinya perampokan-perampokan oleh bajak laut.

Atas prakarsa dari 2 orang tokoh Belanda yaitu Pangeran Maurits dan Johan van Olden Barnevelt pada tahun 1602 kongsi-kongsi dagang Belanda dipersatukan menjadi sebuah kongsi dagang besar yang diberi nama VOC (Verenigde Oost Indesche Compagnie) atau "Persekutuan Maskapai Perdagangan Hindia Timur", pengurus pusat VOC terdiri dari 17 orang.

VOC membuka kantor pertamanya di Banten yang dikepalai oleh Francois Witter, dan dengan hal itu maka dimulailah masa pemerintahan VOC di Nusantara yang di sisi lain merupakan mimpi buruk bagi rakyat pribumi tersebut.

Selain untuk menjaga persaingan dengan Bangsa lain yang mencoba masuk ke Indonesia, VOC didirikan untuk tujuan lain, yaitu: Menghindari persaingan tidak sehat diantara sesama pedagang Belanda untuk keuntungan maksimal. Memperkuat posisi Belanda dalam menghadapi persaingan, baik dengan bangsa-bangsa Eropa lainnya maupun dengan bangsa-bangsa Asia.

Membantu dana pemerintah Belanda yang sedang berjuang menghadapi Spanyol. Dengan berdirinya VOC maka pemerintah Belanda pun memberikan hak-hak istimewa bagi VOC, agar dapat melaksanakan tugasnya dengan maksimal dan hak-kak itu dikenal juga dengan nama hak oktroi yang isinya yaitu :
  1. Memonopoli perdagangan,
  2. Mencetak dan mengedarkan uang,
  3. Mengangkat dan memperhentikan pegawai,
  4. Mengadakan perjanjian dengan raja-raja,
  5. Memiliki tentara untuk mempertahankan diri,
  6. Mendirikan benteng,
  7. Menyatakan perang dan damai,
  8. Mengangkat dan memberhentikan penguasa-penguasa setempat.

Monopoli Perdagangan Belanda di Indonesia

Kerajaan mataram mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) yang bercita-cita merebut batavia (jayakarta dan sunda kelapa) dan mengusir orang-orang belanda dari bumi indonesia. Untuk mencapai tujuannya Sultan Agung melakukan 2 kali serangan besar–besaran terhadap kantor dagang VOC.

Serangan pertama yang dilakukan mataram terjadi pada tahun 1628, yang ditunjukan di kantor dagang di jepara. Namun, usaha serangan ini diketahui oleh Jan Pieter Zoon Coen, Gubenur VOC yang ditempatkan di batavia.

Pasukan kedua langsung di kirim di bawah pimpinan tumenggung suro agul-agul yang di bantu oleh kyai Dipati mandurejo.

Perlawanan terhadap kaum imperialis oleh masyarakat Indonesia yang tinggal di Jawa diawali dengan perlawanan rakyat Demak yang dipimpin oleh Dipati Unus terhadap kekuatan Portugis di Malaka.

Perlawanan ini dilatarbelakangi oleh penguasaan Malaka oleh Portugis, padahal Malaka adalah tempat bertemunya para pedagang Jawa yang kebanyakan pada waktu itu berasal dari Demak.

Perlawanan Dipati Unus kepada Portugis di Malaka diwujudkan dalam bentuk serangan pasukan Dipati Unus terhadap kota pelabuhan Malaka yang dilakukan dua kali (1512 dan 1513), dan mengalami kegagalan.

Kegagalan ini disebabkan oleh lemahnya persenjataan yang dimiliki oleh pasukan Dipati Unus, serta karena tidak mendapat dukungan dari kerajaan-kerajaan di kawasan Sumatra, Jawa, dan Kalimantan.

Sebaliknya, pada saat yang sama, penguasa kerajaan Pajajaran melakukan kerja sama dengan bangsa Portugis setelah mereka mendapat ancaman dari kekuatan Islam di pesisir utara Pulau Jawa, yaitu Cirebon dan Banten.

Hal inilah yang juga memperkuat kekuasaan Portugis di nusantara, dan melemahkan upaya perlawanan kerajaan-kerajaan nusantara terhadap kekuatan Barat.

Kerajaan Mataram di Jawa juga melakukan perlawanan terhadap VOC. Ambisi untuk menggusur VOC dari Jawa mengalami kegagalan, karena hanya dilakukan sendiri dan tidak mendapat dukungan dari kerajaan-kerajaan lainnya yang ada di Jawa.

Sultan Agung yang mempunyai cita-cita untuk mempersatukan wilayah Pulau Jawa dalam kekuasaannya berusaha mengalahkan VOC di Batavia (Jakarta).

Namun, penyerangan ke Batavia yang dilakukan pada 1628 dan 1629 tersebut mengalami kegagalan karena selain pasukan dan persiapan pasukannya yang belum matang, juga tidak mampu membuat blok perlawanan bersama kerajaan-kerajaan lainnya, misalnya dengan kesultanan Banten di Jawa Barat.

Konflik dalam urusan kerajaan serta persaingan dalam tahta kerajaan juga menyebabkan perlawanan terhadap kekuasaan Barat mengalami kegagalan. Misalnya konflik internal kesultanan Banten yang menyebabkan Banten jatuh ke tangan VOC.

Setelah Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat anaknya yang bergelar Sultan Haji sebagai sultan Banten, Belanda segera ikut campur dalam urusan Banten dengan cara mendekati Sultan Haji.

Sultan Ageng yang sangat anti VOC segera menarik kembali tahta untuk anaknya. Tentu saja tindakan tersebut tidak disukai oleh sang putra mahkota sehingga dia minta bantuan ke VOC di Batavia untuk membantu mengembalikan tahtanya. Akhirnya, melalui kerja sama dengan VOC, Sultan Haji memperoleh tahta kembali dengan imbalan diserahkannya sebagian wilayah Banten kepada VOC.

Dengan demikian, konflik internal dalam memperebutkan kekuasaan serta perbedaan sikap dan pandangan di antara sultan-sultan di kerajaan Banten menyebabkan sulitnya mengusir kekuasaan Barat dari kawasan tersebut, bahkan sebaliknya kesultanan tersebut menjadi mudah dikuasai oleh kekuatan asing.

Tokoh lain yang melakukan perlawanan terhadap VOC adalah Untung Surapati. Untung Surapati melawan VOC dikarenakan sering memimpin perampokan terhadap pasukan VOC.

Versi lain menyebutkan perlawanan Untung Surapati terhadap VOC dilatarbelakangi oleh wanita, yaitu ada anak perempuan perwira VOC yang jatuh cinta kepada Untung, perwira tersebut tidak berkenan dan berusaha membunuh Untung Surapati.

Pemberontakan Untung Surapati terhadap VOC berlangsung pada 1686 sampai dengan 1706. Adapun dalam menjalankan aksinya, Untung Surapati bersekutu dengan Sunan Amangkurat II yang merasa berat atas perjanjiannya dengan VOC. Untuk memadamkan pemberontakan Untung Surapati, VOC mengutus Kapten Tack ke kerajaan Mataram.

Namun, Kapten Tack beserta seluruh anak buahnya terbunuh. Tentu saja Sunan Amangkurat II sangat berterima kasih kepada Untung Surapati. Untuk membalas jasajasa Untung Surapati, Sunan Amangkurat II memberikan daerah Pasuruan kepada Untung Surapati dan menetapkannya menjadi bupati di sana dengan gelar Adipati Wiranegara.

Baca Juga : Perjanjian Roem Royen antara Indonesia dan Belanda

Pada 1703, Sunan Amangkurat II meninggal, kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Sunan Amangkurat III. Seperti ayahnya, Sunan Amangkurat III pun memusuhi VOC dan bersekutu dengan Untung Surapati. Paman Sunan Amangkurat III yang bernama Pangeran Puger menginginkan tahta untuk menjadi raja di Mataram.

Ia kemudian bersekutu dengan VOC untuk menjatuhkan Sunan Amangkurat III. Melihat gelagat yang demikian, tentu saja VOC sangat bergembira dan berusaha membantu Pangeran Puger.

Agar bisa mencapai maksudnya, Pangeran Puger bersedia membuat perjanjian dengan VOC dengan ketentuan menyerahkan sebagian wilayah kekuasaan Mataram. Adapun isi perjanjian tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Seluruh daerah Priangan, Cirebon, dan Madura bagian Timur diserahkan kepada VOC,
  2. Sunan (Pangeran Puger) dibebaskan dari segala utangnya terdahulu, tetapi selama 25 tahun,
  3. Sunan wajib menyerahkan 8.000 koyan beras kepada VOC,
  4. Di daerah Kartasura VOC bersedia menempatkan pasukannya untuk melindungi Sunan,
  5. Berdasarkan perjanjian tersebut, VOC membantu Pangeran Puger untuk menjadi Sunan di Mataram,
  6. Pada 1705, Pangeran Puger kemudian dinobatkan oleh VOC menjadi Sunan di Mataram dengan gelar Sunan Pakubuwono I.

Setelah itu, dimulailah peperangan antara Sunan Pakubuwono I dan Untung Surapati yang dibantu oleh Sunan Amangkurat III. Pada 1706, VOC akhirnya berhasil melumpuhkan kekuasaan Untung Surapati di Kartasura.

Dengan demikian, berakhirlah perlawanan Untung Surapati. Di Jawa Tengah perlawanan dilakukan oleh Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya. Perang ini dikenal dengan Perang Diponegoro (1825-1830).

Penyebab terjadinya perang ini adalah rasa tidak puas yang hampir merata di kalangan masyarakat terhadap berbagai kebijakan yang dijalankan pemerintah Belanda di wilayah Kesultanan Yogyakarta.

Di bidang politik, penguasa Belanda dengan seenaknya mencampuri urusan intern kesultanan. Akibatnya, di lingkungan keraton Mataram terbentuk dua kelompok yang pro dan anti Belanda.

Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono V, Pangeran Diponegoro diangkat sebagai anggota Dewan Perwalian. Namun, ia jarang sekali diajak berbicara mengenai urusan pemerintahan karena sikap kritisnya terhadap kehidupan keraton yang dianggapnya sudah dipengaruhi oleh budaya Barat dan penuh intervensi Belanda.

Oleh karena itu, ia meninggalkan keraton dan menetap di Tegalrejo. Belanda yang ingin menguasai Mataram sepenuhnya berusaha mencari-cari alasan untuk memulai perang dan menangkap Diponegoro.

Di mata Belanda, Diponegoro merupakan pemimpin lokal yang sangat membahayakan kedudukan Belanda. Sikapnya yang anti Belanda, kharismatik, dan mampu membangkitkan simbol-simbol Islam dianggap sebagai sebuah ancaman bagi kepentingan Belanda di Mataram.

Suatu ketika pemerintah kolonial Belanda bermaksud membuat jalan raya yang menghubungkan Yogyakarta dan Magelang. Jalan tersebut ternyata menembus makam leluhur Diponegoro di Tegalrejo. Hal ini tentu saja membuat Diponegoro marah dan menganggapnya sebagai suatu penghinaan.

Patok-patok yang menandai pembangunan jalan tersebut kemudian diganti oleh para pengikut Diponegoro dengan tombak-tombak. Tindakan para pengikut Diponegoro tersebut dijawab oleh Belanda dengan mengirimkan pasukannya ke Tegalrejo pada 25 Juni 1825.

Pangeran Diponegoro dan masa pasukannya membangun pusat pertahanan di Selarong. Dukungan pada Diponegoro datang dari mana-mana sehingga kekuatan pasukan Diponegoro semakin bertambah. Tokoh-tokoh yang bergabung antara lain Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasha Prawirodirjo, dan Kiai Maja.

Oleh karena itu untuk menghadapi perlawanan ini Belanda mendatangkan pasukan dari Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan yang dipimpin Jenderal Marcus de Kock. Pasukan Pangeran Diponegoro selalu berhasil memperoleh kemenangan.

Untuk mematahkan perlawanan Diponegoro, Belanda melakukan taktik Benteng Stelsel. Dengan taktik tersebut, di daerah-daerah yang telah dikuasai oleh Belanda didirikan benteng-benteng pertahanan yang antara satu dengan lainnya dihubungkan oleh jalan sehingga pasukan mudah bergerak. Akibatnya, pasukan Diponegoro sulit untuk bergerak.

Baca Juga : Herodotus Sebagai Bapak Sejarah Dunia

Sejak 1829, kekuatan Diponegoro mulai berkurang, banyak pengikut Diponegoro yang ditangkap ataupun gugur dalam pertempuran. Pada akhir November 1828, Kiai Maja ditangkap oleh Belanda.

Sementara Sentot Alibasha Prawirodirdjo menyerah pada Oktober 1829. Jenderal de Kock memerintahkan Kolonel Cleerens untuk mencari kontak dengan Pangeran Diponegoro.

Pada 28 Maret 1830, dilangsungkan perundingan antara Jenderal de Kock dan Diponegoro di kantor keresidenan di Magelang. Namun, Belanda berkhianat. Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya ditangkap. Pangeran Diponegoro kemudian dibuang ke Manado dan Makassar. Dengan demikian, Perang Diponegoro berakhir.


Sumber :
Zuhdi, Susanto. 2002. VOC di Kepulauan Indonesia : berdagang dan menjajah, BAB 1 :VOC awal penjajahan (di Indonesia). Jakarta : Balai Pustaka

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung ke Blog ini. Bagi pengunjung silahkan tinggalkan komentar, kritik maupun saran dengan menggunakan bahasa yang baik dan sopan. No Spam !

Previous Post Next Post

Contact Form

close