Home
Budaya
Pengetahuan
Sejarah
Beda Makna Seppuku dan Harakiri dalam Ritual Samurai

Beda Makna Seppuku dan Harakiri dalam Ritual Samurai

Samurai membawa katana

Budaya Jepang memang kerap menyimpan kisah-kisah unik yang mengundang decak kagum sekaligus tanda tanya. Salah satunya yaitu ritual praktik bunuh diri yang dilakukan para samurai sebagai bentuk penebusan kesalahan atau menjaga kehormatan.

Bagi kita yang mengenalnya lewat film atau novel, mungkin cukup familiar dengan istilah harakiri atau seppuku. Keduanya seringkali dianggap sama, padahal di balik itu terselip perbedaan konteks, makna, dan bahkan nuansa penghormatan.

Meski berbeda, tapi mengapa kedua istilah tersebut sering digunakan untuk menggambarkan ritual yang serupa? Apakah ini sekadar perbedaan dialek atau ada nilai filosofis yang lebih dalam?

Asal Usul Praktik Seppuku dan Harakiri

Ritual bunuh diri dengan cara merobek perut sebenarnya bukanlah hal baru dalam sejarah dan budaya Jepang. Praktik ini diperkirakan sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu yaitu tepatnya pada era zaman Heian (794–1185), tetapi baru mulai populer di kalangan samurai pada abad ke-12 Masehi.

Pada awalnya, tindakan seperti ini dilakukan di medan perang untuk menghindari penangkapan musuh. Namun seiring dengan berkembangnya tradisi di era zaman Edo (1603–1868), istilah dan penggunaan seppuku ini kemudian turut menjadi bagian dari hukum resmi sebagai hukuman terhormat bagi samurai yang melanggar kode bushidō.

Di sinilah istilah seppuku dan harakiri mulai digunakan dalam konteks berbeda. Meski merujuk pada tindakan yang sama, yaitu sama-sama mengeluarkan isi perut dengan pisau kecil (tanto), namun pemilihan kata keduanya ternyata tak bisa dipertukarkan begitu saja.

Seppuku, Bahasa Resmi yang Penuh Martabat

Seppuku (切腹) berasal dari gabungan karakter setsu (切, "memotong") dan fuku (腹, "perut"). Istilah ini menggunakan cara baca on'yomi (pelafalan berdasarkan bahasa China), yang umum dipakai dalam konteks formal atau sastra.

Penggunaan on'yomi sendiri mencerminkan status tinggi, sebab pada masa lalu tulisan dan istilah China dianggap lebih intelektual dan terhormat.

Dalam praktiknya, seppuku adalah ritual yang sangat terstruktur. Seorang samurai biasanya akan mengenakan jubah putih (shiroshōzoku), yang kemudian ia akan duduk di atas tatami lalu menusuk perutnya menggunakan pisau kecil dengan gerakan horizontal dari kiri ke kanan.

Selama proses tersebut berlangsung, biasanya akan disaksikan oleh beberapa pejabat istana, serta pelaku seppuku pun akan didampingi kaishakunin (asisten) yang berdiri disebelahnya sambil membawa pedang (katana) dan bertugas memenggal kepala pelaku untuk mengurangi penderitaan mereka.

Ritual inipun bukan sekadar kematian semata, melainkan simbol kesetiaan, penebusan dosa, atau protes terhadap ketidakadilan.

Bahkan dalam dokumen resmi atau karya sastra klasik seperti Hagakure, istilah seppuku selalu dipilih untuk menjaga kesakralan tradisi.

Kata ini juga kerap dikaitkan dengan kisah-kisah heroik, seperti kematian Minamoto no Yorimasa (1180) atau Jenderal Nogi Maresuke (1912).

Harakiri, Kata Kasar yang Populer di Luar Jepang

Sementara itu, istilah harakiri (腹切り) sebenarnya ditulis dengan menggunakan karakter yang sama persis seperti seppuku, tetapi cara membacanya yaitu dengan menggunakan kun'yomi (pelafalan asli Jepang).

Hara bisa diartikan sebagai "perut", sementara kiri berarti "potong". Meski terdengar lebih mudah diucapkan, akan tetapi istilah ini justru dianggap kurang sopan di kalangan masyarakat Jepang sendiri.

Harakiri sering digunakan oleh orang asing atau dalam percakapan informal. Bahkan, beberapa sumber menyebut bahwa samurai sendiri enggan menyebut ritual itu sebagai harakiri karena terkesan vulgar. Kata ini dianggap terlalu langsung dan mengabaikan nilai filosofis dibalik tindakan tersebut.

Menariknya di luar Jepang, penggunaan istilah harakiri sendiri bisa dibilang justru lebih populer dibanding seppuku. Film-film Hollywood seperti The Last Samurai atau novel-novel terjemahan kerap kali menggunakan istilah ini karena dianggap lebih "eksotis" dan lebih mudah diingat.

Namun bagi orang-orang Jepang, penyebutan harakiri lebih terdengar seperti menyamakan ritual sakral dengan aksi kekerasan biasa.

Perbedaan Konteks Penggunaan Seppuku dan Harakiri

Jika dianalogikan, perbedaan seppuku dan harakiri ini mirip dengan kata "meninggal" dan "mati" dalam bahasa Indonesia.

Kata meninggal biasa digunakan dalam situasi yang resmi dan cenderung lebih halus atau sopan, sementara kata yang kedua yaitu mati terkesan lebih kasar.

Seorang samurai yang melakukan seppuku seringkali akan lebih dikenang sebagai pahlawan yang menjunjung kehormatan, sedangkan menyebutnya dengan kata harakiri mungkin akan dianggap merendahkan pengorbanannya.

Selain itu, istilah seppuku juga merujuk pada ritual yang diatur secara ketat dengan memiliki beberapa tahapan, dimulai dari persiapan, penggunaan pakaian (biasanya berwarna putih), hingga urutan gerakan yang telah diatur.

Sementara harakiri bisa merujuk pada tindakan bunuh diri biasa tanpa adanya ritual sama sekali, meski ini jarang terjadi.

Nilai Filosofis dari Kedua Istilah

Bagi kita yang mempelajari budaya Jepang, mengetahui serta memahami perbedaan seppuku dan harakiri tentu bukan sekedar urusan semantik saja. Melainkan ini tentang bagian dari menghormati konteks sejarah dan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat dimasa lalu.

Penggunaan seppuku menunjukkan apresiasi terhadap kompleksitas ritual, di mana setiap tahapannya, yang dimulai dari pemilihan pisau hingga peran kaishakunin seringkali memiliki makna tersendiri.

Sementara harakiri cenderung mereduksi tindakan tersebut menjadi hanya sekedar "membelah perut", tanpa menghiraukan lapisan filosofis di dalamnya.

Di era modern, istilah seppuku juga kerap kali dipakai sebagai metaforis dalam menggambarkan "pengorbanan" seseorang dalam karir atau politik.

Misalnya saja, seorang pejabat yang mengundurkan diri karena skandal mungkin akan disebut "melakukan seppuku politik". Penggunaan ini tentu tidak bisa diganti dengan harakiri.

Kesimpulan

Seppuku dan harakiri pada dasarnya ibarat dua sisi mata uang yang sama, tetapi masing-masing mencerminkan sudut pandang berbeda.

Yang satu merupakan istilah terhormat yang mengangkat martabat samurai, sementara satunya lagi merupakan kata sehari-hari yang kehilangan nuansa sakralnya.

Semoga dengan memahami perbedaan ini, kita tidak hanya memperkaya kosakata saja, tetapi juga belajar menghargai cara sebuah budaya memaknai hidup dan kematian.

Bagaimanapun juga dalam tradisi Jepang, kata-kata bukan hanya sekedar alat untuk berkomunikasi, melainkan juga sebagai cerminan dari jiwa dan nilai yang harus dipegang teguh.

No comments

Terima kasih telah berkunjung ke Blog ini. Bagi pengunjung silahkan tinggalkan komentar, kritik maupun saran dengan menggunakan bahasa yang baik dan sopan.
close